DERETAN.COM, Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, muncul fenomena baru di kalangan Gen Z: kelelahan empati digital atau empathy fatigue. Fenomena ini terjadi ketika seseorang merasa terlalu sering ‘dipaksa’ peduli terhadap berbagai isu sosial, bencana, dan konflik yang muncul silih berganti di dunia maya—hingga pada akhirnya merasa mati rasa dan kehilangan kepedulian secara nyata.
Husna (21), seorang mahasiswi di Semarang, mengungkapkan pengalamannya. “Kalau lihat video anak kecil korban perang atau lansia yang butuh bantuan, saya turut membantu walaupun sedikit. Menjadi apatis itu menurut saya bukan pilihan yang bijak, itu justru tanda kita kehilangan empati. Dan itu sifat yang buruk.” Meski begitu, Husna juga pernah merasa lelah untuk terus peduli. “Kadang capek juga, apalagi kalau kita peduli ke orang yang salah. Tapi itu bisa kita saring. Capek itu wajar, asal jangan sampai bikin kita menutup mata sepenuhnya,” jelasnya.
Media sosial, yang awalnya menjadi tempat menyuarakan solidaritas, kini juga menjadi sumber kelelahan emosional. Unggahan-unggahan yang memuat penderitaan, kemarahan, atau ajakan berempati bisa muncul puluhan kali dalam sehari. Tekanan untuk menunjukkan kepedulian—dengan membagikan, menyukai, atau berkomentar—menjadi semacam kewajiban sosial tak tertulis.
Dosen Bimbingan Konseling Galuh menjelaskan bahwa ini adalah bentuk kelelahan empati yang umum terjadi di era digital. “Empati adalah kemampuan alami manusia, tapi tidak untuk semua hal sekaligus dan sepanjang waktu. Ketika seseorang terlalu sering menyerap informasi yang bersifat emosional, khususnya yang menyedihkan atau memancing kemarahan, otak akan mulai membentuk semacam ‘perisai’. Itulah yang membuat kita mulai mati rasa atau kehilangan kepekaan,” ungkapnya.
Menurut Galuh, kelelahan empati digital bisa berdampak serius pada kesehatan mental. “Bukan hanya membuat seseorang merasa cemas, tapi juga menimbulkan rasa bersalah karena merasa tidak cukup peduli. Ini ironis, karena justru semangat peduli yang awalnya mendorong seseorang untuk aktif di media sosial malah menjadi bumerang.”

Kegiatan Gen-Z di waktu luang
Sementara itu, Jakpat dalam survei tahun 2024 dengan melibatkan 1.155 responden berusia 15-27 tahun mengalokasikan waktunya sekitar 3 jam 11 menit setiap hari. Berdasarkan laporan Digital 2024: Global Overview Report dari We Are Social, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu sekitar 7 jam 38 menit setiap harinya untuk berselancar di internet, dengan media sosial menjadi platform yang paling banyak digunakan.
Adisti Inayah Tsaabitah, staf Brand Ambassador di komunitas kesehatan mental House of Psyche, menilai bahwa anak muda saat ini semakin kritis dalam menanggapi isu-isu sosial. “Dibanding sebelumnya, sekarang generasi muda jauh lebih berani bersuara. Mereka kritis terhadap isu kesehatan maupun politik. Walaupun kadang emosional dan menggebu-gebu, cara berpikir kritis itu terlihat nyata,” ungkapnya.
Namun, ia tak menampik bahwa banyaknya isu yang berseliweran di media sosial bisa memicu kelelahan. “Sejujurnya saya sendiri pernah merasakan stres karena terlalu banyak isu, terutama politik. Banyak orang bersuara, tapi dengan cara brutal dan saling menyerang. Itu bikin lelah, meskipun bukan berarti saya tidak peduli,” jelasnya.
penulis: Ernest Rafael Totonafo Gulo
Komentar