Terjadinya lonjakan aktivitas dalam mengakses media sosial kini menimbulkan dampak baru yang dihadapi oleh kalangan remaja dan dewasa muda. Alih-alih sekadar menjadi hiburan dan komunikasi media sosial, brain rot saat ini dipandang sebagai penyebab gangguan psikologis-serius.
Dalam beberapa tahun kebelakang, platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Youtube menjadi lebih dari sobat karib bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Pengaksesan berlebihan yang kini dianggap menjadi sesuatu yang lumrah cukup menarik perhatian saya untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan ini. Survei dengan 21 responden yang telah saya lakukan, menunjukkan bahwa sekitar 71% dari total responden mengakses media sosial lebih dari jam tiga, yang sebagian besar memiliki rentang usia 19–22 tahun (86%). Dari respond para partisipan, saya mendapati bahwa usia tersebut masuk dalam rentang kelompok yang sedang mengalami perubahan crusial di dalam taraf hidupnya, namun kini justru lebih sibuk mengakses konten brain rot.
TikTok telah menempati urutan teratas sebagai platform yang paling sering digunakan (43%), diikuti oleh Instagram Reels (29%) dan YouTube Shorts (19%). Ini menandakan bahwa konten cepat, ringan, dan berulang sangat menarik minat partisipan. Terdapat pula imbas yang dirasakan oleh partisipan, yakni; merasa kehilangan waktu berharga untuk lebih produktif, mengalami kesulitan fokus, merasa cemas atau gelisah, serta kurang mendapatkan istirahat yang cukup.
Dampak Psikologis yang Tak Terlihat, Tapi Nyata
Remaja hari ini bukan hanya kecanduan layar, tapi juga dikunci dalam siklus tak berujung dari konten yang tak bernilai—scrolling tanpa arah, membandingkan diri, dan kehilangan koneksi nyata,” ungkap Pandith Aribowo , peneliti utama dalam studi dari Universitas Padjadjaran.
Survei yang telah saya selenggarakan sepertinya cukup memperkuat hal ini, karena 86% dari total responden mengakui bahwa aktivitas utama mereka adalah menonton video lucu atau sebatas scrolling tanpa arah dan tak mengenal waktu untuk berhenti. Hanya terdapat 14% yang menghabiskan waktu mereka untuk menonton konten edukasi ringan untuk mencari informasi atau berita baru melalui media sosial. Tak hanya permasalahan perilaku dan kebiasaan, banyak dari teman-teman responden yang juga dampak psikologis berupa gejala FOMO (Fear of Missing Out). Sebuah kondisi kecemasaan berlebih ketika merasa tertinggal sebuah informasi atau tren terbaru.
Disisi lain, sebanyak 66% dari responden mengatakan bahwa mereka merasakan penurunan kepercayaan diri, baik secara langsung atas (33% menjawab ‘ya’) maupun tidak langsung dengan (33% menjawab ‘tidak yakin’). Paparan terhadap konten negatif seperti ujaran kebencian atau standar kecantikan tidak realistis juga cukup tinggi, dengan 66% responden pernah atau sering melihat konten semacam itu.
Tidur Terganggu, Fokus Terpecah
Salah satu temuan yang cukup menarik dari survei adalah 100% responden mengaku menggunakan media sosial sebelum tidur, dengan 62% melakukannya setiap hari. Kebiasaan ini tidak hanya menunda waktu tidur, tetapi juga mengganggu pola istirahat akibat paparan cahaya biru dari layar ponsel. Hal ini secara tanpa disadari juga berpotensi memicu gangguan pengelihatan disaat mendatang.
Efeknya terasa nyata pada aspek fokus dan produktivitas. Ketika ditanya soal kehilangan waktu akibat scrolling, mayoritas responden memberikan skor tinggi dengan rata-rata 3,7 dari 5. Mereka sadar telah membuang waktu, namun kebiasaan tersebut tetap berulang. Bahkan rata-rata skor kesulitan fokus setelah penggunaan media sosial mencapai 3,2 dari 5, menunjukkan adanya gangguan konsentrasi dan perhatian setelah terpapar media digital dalam waktu lama.
Kondisi ini semakin diperparah dengan perasaan emosional negatif yang muncul setelah menonton konten yang tidak bermanfaat. Sebanyak 76% responden mengaku merasa kosong, lelah, atau menyesal setelah menonton konten ‘ngasal’, mengindikasikan adanya beban psikologis tersendiri dari konsumsi konten yang berlebihan dan tidak terarah.
Mencari Solusi: Literasi Digital dan Batasan yang Sehat
Fenomena brain rot bukan sekadar keluhan generasi tua terhadap kebiasaan anak muda, tetapi krisis mental yang sudah mulai terlihat dampaknya. Oleh karena itu, survei ini menekankan pentingnya upaya preventif sejak dini.
Mayoritas responden merupakan mahasiswa aktif (76%), kelompok yang berada dalam usia produktif dan cenderung memiliki kontrol lebih terhadap waktu dan kebiasaan digital. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa bahkan mereka pun sulit melepaskan diri dari pola penggunaan media sosial yang adiktif. Maka dari itu, pendekatan solusi yang ditawarkan meliputi:
-
- Penerapan literasi digital sejak usia sekolah
- Pembatasan waktu penggunaan perangkat digital, khususnya sebelum tidur
- Penyaringan konten yang dikonsumsi
- Penguatan interaksi sosial dan aktivitas fisik secara nyata
Kesimpulan: Remaja Butuh Lebih dari Sekadar Scroll
Di era digital, remaja dan dewasa muda hidup dalam lingkungan yang bergerak cepat dan penuh rangsangan visual. Namun, ketika perhatian mereka terpecah dan emosi mereka dikendalikan oleh algoritma, siapa yang akan menjaga kesehatan mental mereka tetap stabil?
Brain rot bukan sekadar istilah populer di internet, melainkan refleksi dari realitas psikologis yang dialami oleh generasi muda secara perlahan namun pasti. Saatnya semua pihak—orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan generasi muda itu sendiri—bersama-sama menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, sadar, dan manusiawi.
Referensi:
Aribowo, P., & Bagaskara, M. I. . (2025). Dampak Penggunaan Media Sosial "Brain Rot" terhadap Kesehatan Mental Remaja. Jurnal Sosial Teknologi, 5(3), 350–357. https://doi.org/10.59188/jurnalsostech.v5i3.32020
Matahari Kartika Purusakara, Mahasiswa Sastra Inggris—Universitas Negeri Semarang
Komentar