Dalam dunia digital seperti sekarang, media sosial termasuk hal yang sangat krusial bagi manusia, karena tak hanya untuk berkomunikasi, namun juga sebagai citra diri dengan menampilkannya ke media sosial sebagai jaringan global. Setiap detik, ribuan bahkan jutaan manusia melihat, membaca, mengunggah, menanggapi, dan membagikan banyak informasi yang ditampilkan dalam layar ponsel mereka. Namun, banyaknya informasi ini menciptakan fenomena “overload information” yang berarti ketika jumlah informasi yang diterima melebihi kemampuan seseorang untuk memprosesnya. Kondisi ini telah memengaruhi keseimbangan ekosistem digital yang disebut oleh Marshall McLuhan sebagai “lingkungan media”, tempat manusia beradaptasi secara sosial dan psikologis melalui teknologi. McLuhan juga menegaskan bahwa bukan isi pesan yang paling memengaruhi manusia, melainkan bentuk medianya itu sendiri (the medium is the message), karena setiap media menciptakan lingkungan baru yang mengubah cara berpikir dan berinteraksi.
Berdasarkan hasil sebuah penelitian, sebanyak 76 persen responden berusia antara 20 hingga 30 tahun aktif menggunakan media sosial setiap hari, dan 68 persen di antaranya adalah perempuan dan 32 persennya adalah laki-laki (Wijaya et al., 2025). Dari kelompok tersebut, lebih dari 55 persen mengalami tekanan akibat banyaknya informasi yang harus mereka baca, tonton, dan tanggapi setiap hari. Kondisi ini mendorong munculnya Fear of Missing Out (FOMO) yaitu rasa takut tertinggal dari berita atau tren sosial digital yang sedang berlangsung. Sebanyak 34,6 persen variasi perilaku FOMO dijelaskan oleh kelebihan informasi, sedangkan 55,5 persen dari kelelahan media sosial (social media fatigue) juga disebabkan oleh faktor yang sama (Wijaya et al., 2025). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa 64 persen responden dewasa awal mengalami kelelahan digital akibat kecemasan yang dimediasi oleh FOMO (Fear of Missing Out), yang berarti kecemasan menjadi jembatan antara rasa takut tertinggal dan kelelahan akibat penggunaan media sosial (Rahmania et al., 2023). Data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi paparan informasi yang dilihat, semakin besar juga potensi kelelahan mental akibat media.
Selain itu, 47,5 persen variasi kelelahan media sosial dipengaruhi oleh interaksi antara FOMO, kecemasan, dan overload informasi (Wijaya et al., 2025). Artinya, hampir separuh pengguna aktif media sosial mengalami gangguan psikologis, karena terjebak dalam lingkungan digital yang penuh tekanan karena melihat terlalu banyak informasi, melihat pencapaian orang lain yang diunggah di platform digital, radiasi yang ditampilkan, dan jari-jari tangan yang terus bergerak di layar ponsel juga bisa memengaruhi kesehatan fisik, selain itu kecanduan teknologi membuat interaksi dengan dunia luar berkurang. Hal ini selaras dengan salah satu teori ekologi media yang menyatakan bahwa media bukan sekadar saluran pesan, tetapi juga lingkungan yang membentuk perilaku dan kesadaran manusia. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa fenomena kelelahan digital kini semakin meluas di kalangan mahasiswa. Berdasarkan hasil survei terhadap 400 mahasiswa di Kota Makassar, sebanyak 63,5 persen mengalami tingkat kelelahan media sosial sedang, dan 70,3 persen di antaranya adalah perempuan yang menggunakan media sosial lebih dari enam jam per hari (Azhari, Purwasetiawati, & Saudi, 2024). Temuan ini memperkuat bahwa paparan informasi berlebihan membuat individu kehilangan fokus dan rentan mengalami kelelahan psikologis.
Fenomena ini juga diperkuat oleh data lain yang menunjukkan bahwa sebanyak 68 persen pengguna muda merasa cemas saat tidak membuka media sosial lebih dari dua jam, sedangkan 70 persen mengaku sulit untuk berhenti memantau aktivitas orang lain secara daring (Murniasih, 2023). Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain berdasarkan tampilan kehidupan di media sosial terbukti menjadi salah satu faktor penting yang menghubungkan hubungan antara FOMO dan kelelahan digital. Ketika seseorang terus melihat unggahan orang lain yang tampak lebih bahagia atau lebih sukses, mereka terdorong untuk selalu meningkatkan diri agar tidak tertinggal, di sisi lain memang hal ini bisa berdampak positif sebagai motivasi diri agar lebih baik setiap harinya, namun di sisi lain hal ini juga berdampak buruk terhadap kesehatan mental, seperti bisa merasa diri sendiri tidak pernah lebih baik dan sukses seperti orang lain, yang justru malah bisa menimbulkan rasa iri dan dengki. Siklus inilah yang menciptakan tekanan psikologis dan mempercepat kelelahan mental.
Dari sisi ekologi media, fenomena ini menunjukkan bahwa manusia sedang kehilangan keseimbangan dalam beradaptasi dengan lingkungan komunikasinya sendiri. McLuhan menyebut media sebagai perpanjangan dari pancaindra manusia (the extension of man), yang berarti setiap kemajuan teknologi memperluas kemampuan manusia. Namun, hal ini juga tidak sepenuhnya baik, karena pancaindra manusia malah bisa kehilangan kontrol atas waktu dan diri sendiri, dan berakhir menjadi sebuah gangguan fisik dan psikologis.
Penelitian lain menunjukkan bahwa sebanyak 85 persen responden berasal dari Indonesia bagian timur, wilayah yang menunjukkan tingkat keterhubungan digital yang tinggi di kalangan mahasiswa (Wijaya et al., 2025). Namun, peningkatan ini tidak selalu diikuti dengan kesejahteraan digital. Data memperlihatkan bahwa lebih dari 45 persen pengguna media sosial mengalami gejala kelelahan mental ringan hingga sedang setelah menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari. Selain itu, sekitar 31 persen responden merasa sulit untuk berhenti menggunakan media sosial meskipun sudah merasa lelah secara emosional (Wijaya et al., 2025). Fakta dan data ini menunjukkan bahwa efek media juga memengaruhi pola pikir, kesehatan mental, dan bahkan perilaku sosial masyarakat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa lingkungan (ekosistem) media mengalami “polusi informasi”. Polusi ini terjadi ketika media sosial tidak lagi menjadi ruang pertukaran gagasan yang sehat, melainkan ladang informasi berlebihan yang menguras energi mental penggunanya. Seperti halnya ekosistem alam yang membutuhkan keseimbangan antara makhluk hidup dan lingkungannya, ekosistem digital pun memerlukan keselarasan antara manusia, teknologi, dan pesan yang diterima. Jika hal ini terganggu, maka manusia sebagai kontrol penuh akan terus terbelenggu dalam siklus penggunaan teknologi yang melelahkan. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi ruang hidup baru yang tidak hanya menyalurkan pesan, tetapi juga membentuk cara manusia berpikir dan berperilaku dalam lingkungan digital.
Maka, untuk menciptakan lingkungan media yang sehat, platform media sosial seharusnya bisa meningkatkan fitur untuk mengontrol informasi yang berlebihan, selain itu kita juga perlu meningkatkan literasi digital yang kuat dan manajemen waktu yang baik, agar tidak “kalah” dengan teknologi yang menimbulkan rasa kecanduan. Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari 60 persen responden menyatakan membutuhkan panduan untuk mengatur waktu penggunaan media sosial, sementara 52 persen berharap adanya fitur dari platform yang dapat membantu mereka menghindari notifikasi berlebihan (Murniasih, 2023). Data ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah menyadari perlunya keseimbangan, tetapi masih membutuhkan panduan dari platform digital, maupun edukasi manajemen waktu.
Dari perspektif ekologi media, kelelahan digital bukan sekadar akibat individu yang tidak disiplin dalam mengelola diri sendiri dalam dunia digital, tetapi juga karena platform membuat hasil tidak seimbang antara hal positif dan negatif secara moral. Informasi yang berlebihan, notifikasi yang terus muncul tanpa henti, dan algoritma yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna menciptakan tekanan psikologis yang berkelanjutan. Maka, upaya menciptakan “ekologi media yang berkelanjutan” tidak hanya tugas pengguna, tetapi juga tanggung jawab platform digital, institusi pendidikan sebagai fasilitator edukasi, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk memastikan media berfungsi sebagai perpanjangan kemanusiaan, bukan sumber kelelahan manusia. Dengan demikian, memahami ekologi media bukan hanya soal teori, tetapi juga sebuah langkah untuk menciptakan masa depan digital yang lebih sehat dan beradab.
Referensi:
Azhari, A. A., Purwasetiawati, T. F., & Saudi, A. N. A. (2024). Gambaran tingkat social media fatigue pada mahasiswa di Kota Makassar. Jurnal Psikologi Karakter, 4(1), 24–30.
Murniasih, F. (2023). Sisi Gelap Media Sosial: Mediasi Perbandingan Sosial pada Hubungan Fear of Missing Out dan Social Media Fatigue. Jurnal Diversita, 9(1), 93–105.
Rahmania, F. A., Ramadhayanti, J. S., Andini, T. A. D., & Nugraha, S. P. (2023). Fear of Missing Out (FOMO) as a Mediator of Anxiety on Social Media Fatigue in Early Adulthood. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 10(1), 85–92.
Wijaya, F. V., Gobai, F. A., Suciawan, A. G., Biondy, M., & Ardyan, E. (2025). Kelelahan digital di era media sosial: Studi tentang kelebihan informasi, kecemasan, dan Fear of Missing Out (FOMO). Jurnal Online Manajemen ELPEI, 5(1), 1271–1285.





Komentar