DERETAN – Di media sosial, tren thrifting sedang berkembang ibaratkan budaya pop baru. Anak-anak muda dengan bangga memamerkan temuan unik mereka dari pasar thrifting, merasa lebih stylish dan peduli lingkungan. Gelombang ini bukan hanya gaya, namun cerminan lahirnya generasi conscious consumer yang menolak budaya fast fashion. Mereka melihat thrifting sebagai aksi nyata menuju ekonomi sirkular, dengan memperpanjang usia pakai pakaian dan mengurangi sampah tekstil.
Namun, di tengah euforia ini, pemerintah justru mengambil langkah tegas, yakni: melarang impor baju bekas. Kebijakan ini didasari niat mulia untuk melindungi industri garmen dan tekstil dalam negeri dari tekanan barang murah. Di balik niat mulia itu, tersembunyi sebuah paradoks: “Bagaimana mungkin sebuah kebijakan yang bertujuan melindungi masa depan, justru berpotensi mematikan sebuah gerakan yang menjadi jawaban atas krisis limbah fashion global?” Paradoks inilah yang kemudian bagaikan pukulan telak bagi pegiat thrifting yang menganggapnya sebagai solusi sustainable.
Dua realitas yang bertolak belakang akan menciptakan ketegangan yang tidak terelakkan. Di satu sisi, terdapat tujuan strategis melindungi industri lokal, sementara di sisi lain, ada gerakan global yang mendorong gaya hidup berkelanjutan. Kebijakan yang ada justru memaksa kita memilih antara dua hal yang sama-sama penting, proteksi ekonomi versus masa depan lingkungan. Situasi ini jelas memerlukan penyelesaian yang lebih cerdas dan visioner. Artikel ini akan menganalisis kompleksitas masalah dan menawarkan solusi strategis untuk mendamaikan kedua kepentingan yang tampak bertolak belakang.
Argumentasi di Balik Kebijakan Larangan
Pemerintah bersikap teguh bahwa gempuran baju bekas impor berharga murah ibarat tsunami bagi industri garmen lokal. Barang-barang impor ini sering dijual dengan harga di bawah produksi domestik, membuat produk lokal kesulitan bersaing. Dalam perspektif ekonomi proteksionis, praktik ini dapat mematikan industri dalam negeri secara perlahan-lahan. Kebijakan larangan ini merupakan benteng pertahanan untuk menciptakan level playing field yang adil bagi peritel lokal.
Dibalik mesin jahit dan kain, terdapat nyawa 3,78 juta pekerja tekstil yang menghidupi keluarga mereka. Data Kementerian Perindustrian (2023) menunjukkan betapa sektor ini menjadi penopang vital ketenagakerjaan nasional. Teori Economic Nationalism yang dikemukakan Friedrich List abad ke-19 masih relevan, “Negara perlu melindungi infant industry untuk menjaga kedaulatan ekonomi”. Larangan impor baju bekas diharapkan dapat memberi ruang bernapas bagi UMKM fesyen lokal untuk berkembang dan berinovasi.
Gelombang baju bekas impor tidak hanya masalah ekonomi, melainkan juga martabat bangsa. Setiap tahunnya, Bea Cukai berhasil menggagalkan penyelundupan ratusan ton baju bekas, dengan nilai mencapai ratusan miliar rupiah. Praktik ini mengingatkan kita pada teori Ecologically Unequal Exchange yang diungkapkan sosiolog Stephen Bunker (1984), di mana negara berkembang sering kali menjadi pembuangan limbah negara maju. Larangan ini sebagai bentuk penolakan terhadap posisi Indonesia sebagai landfill fashion global.
Angka 3,78 juta pekerja di sektor TPT (Kemenperin, 2023) bukan hanya statistik, namun representasi nyata ketergantungan hidup masyarakat pada industri ini. Sementara itu, selama tahun 2023, Bea Cukai berhasil menyita 2,3 juta kg baju bekas ilegal senilai Rp 338 miliar (DJBC, 2024). Data tersebut memperkuat argumen bahwa ancaman baju bekas impor bukanlah rekayasa belaka, melainkan realitas yang membutuhkan penanganan serius.
Implikasi Larangan bagi Ekonomi Sirkular
Dunia sedang menghadapi krisis limbah fesyen yang kian mengancam, di mana industri mode menyumbang 10% emisi karbon global menurut UNEP (2023). Dalam situasi darurat ini, thrifting muncul sebagai solusi praktis untuk mengurangi 92 juta ton tekstil yang berakhir di tempat sampah setiap tahunnya. Praktik ini merupakan implementasi nyata dari ekonomi melingkar yang diperjuangkan Ellen MacArthur Foundation melalui laporan ‘Towards the Circular Economy‘ (2013), mengubah pola linier “produksi-pembuangan” menjadi sistem sirkular. Setiap kemeja bekas yang mendapatkan kehidupan kedua, secara langsung mencegah emisi karbon setara 4 kg yang akan dihasilkan dari produksi baju baru.
Konsep thrifting sepenuhnya selaras dengan teori Cradle to Cradle yang digagas Michael Braungart (2002), di mana produk didesain untuk terus bersirkulasi dalam sistem tertutup. Dengan memperpanjang usia pakai sebuah jeans selama sembilan bulan saja, kita dapat mengurangi jejak karbon dan airnya hingga 30% menurut WRAP (2021). Aktivitas ini tidak hanya menghemat 10.000 liter air untuk produksi satu celana jeans baru, tetapi juga mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam yang semakin menipis. Inilah sebabnya thrifting menjadi pilar penting dalam gerakan melawan budaya fast fashion yang menghabiskan banyak sumber daya.
Bagi generasi muda modern, thrifting telah berevolusi menjadi medium ekspresi diri dan penolakan terhadap keseragaman massal. Mereka bukan sekadar conscious consumer yang hemat, melainkan kurator gaya individual yang menganut prinsip “slow fashion“. Fenomena ini membuktikan teori Cultural Consumption dari Pierre Bourdieu (1979) bahwa pilihan konsumsi mencerminkan identitas dan kelas sosial. Setiap jacket vintage atau dress retro yang mereka temukan merupakan perlawanan terhadap budaya konsumtif serta pembentukan identitas yang unik dan personal.
Larangan impor baju bekas justru memangkas pilihan bagi konsumen yang ingin bertindak secara beretika dan ramah lingkungan. Data ThredUp Resale Report (2023) yang bekerjasama dengan GlobalData menunjukkan pasar thrifting global diproyeksikan mencapai USD 350 miliar pada 2027, membuktikan mainstream gaya hidup berkelanjutan. Ketika akses terhadap thrifting impor ditutup, conscious consumer Indonesia kehilangan alternatif berbelanja yang selaras dengan nilai kelestarian lingkungan yang mereka percayai. Kebijakan protektif ini berisiko memundurkan kesadaran lingkungan serta menghambat potensi pasar. Dampak negatif ini semakin mengkhawatirkan, ketika kebijakan yang ada justru tidak menyentuh akar masalah sesungguhnya dari lemahnya daya saing industri lokal.
Mendamaikan Konflik Industri vs. Lingkungan
Larangan impor baju bekas merupakan respons yang simplistis terhadap permasalahan kompleksitas daya saing industri lokal. Kebijakan ini belum menyentuh akar permasalahan, seperti: inefisiensi produksi, ketergantungan impor bahan baku, dan minimnya inovasi desain. Teori “Infant Industry Protection” oleh Friedrich List (1841) justru mensyaratkan proteksi sementara yang disertai langkah strategis menuju kemandirian. Bukannya mendorong industri naik kelas, larangan ini berisiko menciptakan mentalitas rent-seeking yang justru membuat industri lokal terjebak dalam zona nyaman.
Di saat dunia bergerak maju menuju ekonomi berputar, Indonesia justru membatasi akses ke salah satu pilarnya. Laporan UNEP (2023) menegaskan bahwa memperpanjang usia pakai pakaian adalah strategi utama mengurangi limbah tekstil global. Sementara Uni Eropa telah meluncurkan Strategi Tekstil Berkelanjutan dan Sirkular (2022) yang mewajibkan negara anggotanya menerapkan Extended Producer Responsibility bagi brand fashion, kita justru mempersulit praktik thrifting yang sudah ada. Kebijakan ini bertolak belakang dengan komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Pertanyaan kritis muncul: “Apakah proteksi otomatis membuat industri lokal naik kelas?” Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, Kemenperin (2018) mencatat sekitar 50% mesin di industri TPT berusia lebih dari 20 tahun, sebuah bukti nyata stagnasi teknologi yang mengkhawatirkan. Teori “Competitive Advantage of Nations” dari Michael Porter (1990) menekankan bahwa proteksi tanpa peningkatan produktivitas hanya akan melahirkan industri yang rapuh. Larangan ini justru berpotensi mematikan daya saing jangka panjang dengan menghilangkan tekanan untuk berinovasi. Kondisi mesin yang sudah tua ini semakin mempertegas bahwa larangan impor baju bekas tidak akan otomatis menyelesaikan masalah fundamental industri. Tanpa diiringi kebijakan untuk memperbarui teknologi, maka industri lokal akan tetap tertinggal.
Ancaman sesungguhnya bagi industri lokal mungkin bukan baju bekas, melainkan fast fashion global yang beroperasi legal dan masif. Brand internasional seperti Shein dan H&M menguasai 28% pasar fashion Indonesia berdasarkan laporan Nielsen (2023). Kehadiran mereka justru mendapatkan perlindungan hukum melalui aturan perdagangan normal, sementara menjual produk dengan harga yang sering kali lebih murah dari produk lokal. Ironisnya, industri dalam negeri justru harus bersaing dengan raksasa global tanpa perlindungan yang berarti, sementara energi pemerintah terkuras untuk memerangi thrifting. Meskipun kompleks, namun permasalahan ini bukanlah tanpa solusi. Beberapa langkah strategis dapat diambil untuk mendamaikan kedua kepentingan yang tampak bertolak belakang.
Dari Larangan Menuju Transformasi Sistemik
Pemerintah dapat menginisiasi program “bank baju” nasional yang mengelola siklus tekstil dalam negeri secara terstruktur. Konsep ini mengadopsi model Extended Producer Responsibility yang sukses di Prancis, di mana produsen bertanggung jawab atas daur ulang produk mereka (UNDP, 2023). Masyarakat dapat menyumbangkan pakaian bekas layak pakai ke “bank baju” untuk didistribusikan melalui pasar thrifting terkurasi. Langkah ini akan menciptakan ekosistem model ekonomi tanpa sampah secara mandiri, serta mengurangi 2,3 juta ton limbah tekstil Indonesia per tahun (KLHK, 2023).
Dukungan strategis harus difokuskan pada UMKM upcycling yang mengubah bahan bekas menjadi produk bernilai tinggi. Program pelatihan teknik rework dan akses pendanaan dapat menciptakan industri kreatif yang kompetitif. Kisah sukses brand lokal seperti Space Available yang mendaur ulang 50 ton plastik menjadi koleksi fashion membuktikan potensi pasar ini. Pendekatan ini selaras dengan teori Creative Destruction oleh Schumpeter (1942) di mana inovasi dapat menciptakan pasar baru dari produk yang dianggap usang.
Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal bagi brand lokal yang menggunakan bahan daur ulang dan menerapkan prinsip ramah lingkungan. Tax allowance untuk penggunaan bahan baku daur ulang dapat mendorong transisi menuju produksi yang lebih berkelanjutan. Program sertifikasi hijau voluntary dapat menjadi diferensiasi produk lokal di pasar global. Kebijakan ini sejalan dengan konsep Green Industrial Policy yang dikembangkan UNIDO (2020) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta pelestarian lingkungan.
Pembentukan standar keberlanjutan untuk industri fesyen Indonesia menjadi kebutuhan mendesak. Standar ini harus mencakup aspek penggunaan bahan baku, efisiensi energi, pengelolaan limbah, dan kelayakan kerja. Mengadopsi framework Cradle to Cradle Certified yang dikembangkan Michael Braungart (2005), dapat menjadi panduan menuju industri fashion yang restoratif dan regeneratif. Implementasi standar ini akan meningkatkan daya saing produk lokal di pasar global yang semakin peduli sustainability.
Kampanye masif tentang conscious consumption perlu digencarkan untuk mengubah pola pikir masyarakat. Edukasi melalui platform digital dan kolaborasi dengan influencer dapat menargetkan generasi muda sebagai konsumen utama. Program “Slow Fashion Movement” di sekolah dan kampus dapat menanamkan nilai keberlanjutan sejak dini. Data Kantar Indonesia (2023) menunjukkan 61% konsumen Indonesia aktif membeli produk ramah lingkungan, sebuah tren positif yang membuka peluang bagi transformasi pasar fashion nasional.
Pendekatan edukasi harus menekankan bahwa menjadi conscious consumer tidak hanya tentang membeli barang bekas, tetapi juga mendukung brand lokal yang etis. Konsep voting with your wallet yang dipopulerkan ekonom Joseph Heath (2002) relevan diterapkan pada konteks ini. Setiap pembelian merupakan dukungan terhadap nilai-nilai yang diusung produsen, baik keberlanjutan, kesetaraan, maupun kelestarian lingkungan. Konsumen dapat aktif membentuk pasar fashion Indonesia yang lebih bertanggung jawab.
Kolaborasi Menuju Fesyen Masa Depan
Larangan impor baju bekas pada hakikatnya merupakan kebijakan yang dilahirkan dari niatan mulia melindungi industri dalam negeri. Namun, pendekatan ini justru mengandung risiko mematikan inisiatif ekonomi daur ulang yang tengah berkembang di kalangan conscious consumer. Data Global Fashion Agenda (2023) menunjukkan bahwa memperpanjang usia pakai pakaian sembilan bulan ekstra dapat mengurangi jejak lingkungan hingga 30%. Karena itu, kita perlu belajar dari kesalahan kebijakan proteksionis tradisional yang dikritik ekonom Ha-Joon Chang (2002) sebagai “menutup jendela peluang inovasi”.
Masa depan fesyen Indonesia tidak boleh dikurung dalam dikotomi semu antara industri lokal versus keberlanjutan. Larangan impor hanyalah bagian kecil dari puzzle yang lebih besar. Solusi sesungguhnya terletak pada adopsi filosofi “and/both” thinking dari budaya inovasi Jepang, kita dapat menciptakan industri lokal YANG berkelanjutan DAN kreatif. Contoh nyata telah ditunjukkan oleh brand lokal seperti ‘Sejauh Mata Memandang’ yang sukses mengombinasikan craftmanship lokal dengan prinsip sirkular, sebagaimana diliput Vogue Indonesia (2023). Visi ini sejalan dengan teori Blue Ocean Strategy (Kim & Mauborgne, 2005) tentang menciptakan pasar baru tanpa pesaing, bukan hanya berebut pasar lama.
Mari alihkan energi dari perdebatan larangan menuju aksi kolektif membangun ekosistem fesyen yang berdaulat dan regeneratif. Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat dapat bersinergi menciptakan sistem, di mana praktik upcycling dan produksi berkelanjutan menjadi mainstream. Program “Indonesia Fashion Revolution” yang diikuti 500 desainer lokal tahun 2023 membuktikan kesiapan transisi ini. Seperti dikatakan futurist Alex Steffen (2020), “Tantangan sustainability bukan tentang mengorbankan kemakmuran, tapi menciptakan kemakmuran baru melalui desain yang cerdas“.
Larangan impor hanyalah langkah kecil perjalanan panjang membangun industri fashion Indonesia yang tangguh. Tugas besar kita menciptakan budaya konsumsi baru, di mana setiap conscious consumer dapat menjadi agen perubahan melalui pilihan belanjanya. Dengan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana negara berkembang mampu memimpin transisi menuju ekonomi berkelanjutan di industri kreatif. Target nyata yang harus diwujudkan yakni sistem fashion yang mampu meningkatkan daya saing industri lokal, serta mengurangi limbah tekstil nasional yang sejalan dengan target SDGs poin 12 tentang Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan.
Penulis: Harry Yulianto – Akademisi STIE YPUP Makassar





Komentar