Sekaten adalah salah satu tradisi budaya yang khas dari wilayah Jawa, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Tradisi ini memiliki makna mendalam dalam konteks keagamaan dan kebudayaan masyarakat Jawa. Dikenal sebagai perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, Sekaten tidak hanya menjadi momen untuk memperingati kelahiran Nabi, tetapi juga menjadi simbol kesatuan antara rakyat dan keraton. Sejak dahulu hingga kini, Sekaten terus dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya yang bernilai spiritual dan sosial.
Asal usul Sekaten berasal dari masa Kesultanan Demak, ketika agama Islam mulai menyebar di tanah Jawa. Pada masa itu, Sunan Kalijaga berupaya menyebarkan agama Islam dengan cara yang kreatif, yaitu melalui musik gamelan. Tradisi ini akhirnya berkembang menjadi upacara tahunan yang diselenggarakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, kata “Sekaten” sendiri memiliki banyak interpretasi, salah satunya berasal dari kata “syahadatain”, yang merujuk pada dua kalimat syahadat. Hal ini menggambarkan makna spiritual dari perayaan ini.
Selama rangkaian acara Sekaten, masyarakat Yogyakarta dan para wisatawan dapat menyaksikan berbagai prosesi yang penuh makna, seperti penabuhan gamelan, pengarungan gunungan, dan berbagai ritual sakral lainnya. Setiap elemen dalam tradisi ini memiliki makna filosofis dan spiritual yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar acara tahunan. Dengan demikian, Sekaten tidak hanya menjadi bentuk perayaan, tetapi juga sarana untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan, kepercayaan, dan kesadaran akan keberagaman budaya.
Asal Usul Sekaten
Sekaten memiliki akar sejarah yang sangat dalam, terutama dalam konteks penyebaran agama Islam di Jawa. Menurut beberapa sumber, tradisi ini pertama kali dimulai pada masa Kesultanan Demak, ketika Sunan Kalijaga mencoba menyebarkan agama Islam dengan pendekatan yang kreatif. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menggunakan musik gamelan sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat. Karena itu, Sekaten awalnya dikenal sebagai upacara yang dilakukan di Masjid Agung Demak, tempat gamelan dimainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Menurut catatan sejarah, kata “Sekaten” berasal dari beberapa kemungkinan etimologi. Salah satu teori menyatakan bahwa kata ini berasal dari “syahadatain”, yang merupakan dua kalimat syahadat. Hal ini menggambarkan makna spiritual dari perayaan ini, yaitu kesaksian akan kebenaran agama Islam. Teori lain mengatakan bahwa kata “Sekaten” berasal dari “sekati”, yang merujuk pada perangkat gamelan yang digunakan dalam upacara tersebut. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa “Sekaten” berasal dari “suka dan ati”, yang berarti senang hati, atau “sesek dan ati”, yang berarti sesak hati. Meskipun begitu, mayoritas ahli sejarah sepakat bahwa asal usul Sekaten terkait erat dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan penyebaran agama Islam di Jawa.
Pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, seperti Kesultanan Mataram dan Kesultanan Surakarta, Sekaten berkembang menjadi acara tahunan yang dipimpin langsung oleh Sultan. Prosesi ini menjadi wujud penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW, sekaligus sebagai bentuk penyatuan antara rakyat dan keraton. Dengan demikian, Sekaten tidak hanya menjadi acara religius, tetapi juga menjadi simbol keharmonisan antara pemimpin dan rakyat.
Makna Filosofis dan Spiritual dalam Sekaten
Selain memiliki akar sejarah yang kuat, Sekaten juga memiliki makna filosofis dan spiritual yang mendalam. Berdasarkan beberapa sumber, istilah “Sekaten” berasal dari konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Salah satu makna yang sering dikaitkan dengan kata ini adalah “sakhotain”, yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur yang selalu mendambakan diri pada Tuhan. Ini menggambarkan pentingnya menjaga kebersihan jiwa dan semangat spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, ada juga makna “sakhatan”, yang berarti menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan. Makna ini mengajarkan kepada umat Islam untuk menjauhi sifat-sifat negatif dan mengarahkan diri ke jalan yang benar. Selanjutnya, “sahutain” berarti menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu sifat lacur dan menyeleweng. Ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga kejujuran dan kesucian dalam perilaku.
Makna “sekat” juga sangat relevan dalam konteks Sekaten. Kata ini merujuk pada batas, yang mengingatkan kita bahwa hidup harus dibatasi agar tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Terakhir, “sekati” berarti setimbang, yang menggambarkan pentingnya menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk dalam kehidupan. Dengan demikian, Sekaten bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga menjadi ajang untuk memperkuat nilai-nilai moral dan spiritual dalam diri individu serta masyarakat.
Prosesi Upacara Sekaten
Rangkaian acara Sekaten terdiri dari beberapa prosesi yang penuh makna dan ritual. Prosesi ini biasanya dimulai pada tanggal 5 Rabi’ul Awal dan berlangsung selama tujuh hari. Salah satu prosesi yang paling menonjol adalah penabuhan gamelan, yang dilakukan selama waktu tertentu di area Masjid Agung. Gamelan ini tidak hanya dimainkan sebagai bentuk hiburan, tetapi juga sebagai simbol penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Prosesi pertama dalam Sekaten adalah “Miyos Gangsa”, di mana gamelan istana dikeluarkan dari keraton dan mulai dimainkan. Selanjutnya, gamelan dipindahkan ke halaman Masjid Agung pada malam hari. Pada prosesi ini, masyarakat dan abdi dalem diberikan sedekah berupa bunga, uang logam, beras, dan biji-bijian. Sedekah ini menjadi simbol dari kepedulian raja terhadap rakyatnya.
Setelah itu, terdapat prosesi “Numplak Wajik”, yang dilakukan dua hari sebelum acara utama. Prosesi ini melibatkan penempatan wajik di tengah-tengah gunungan, yang nantinya akan dibawa dalam acara Garebeg Mulud. Di samping itu, juga dilakukan latihan oleh prajurit keraton yang akan mengawal gunungan saat acara puncak berlangsung.
Pada tanggal 11 Rabi’ul Awal, dilakukan prosesi “Kondur Gangsa”, di mana gamelan kembali dikembalikan ke keraton. Pada prosesi ini, Sri Sultan bersama pengiringnya menghadiri upacara maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan di Masjid Gede. Selain itu, terdapat juga prosesi “Garebeg” yang menjadi acara puncak dari Sekaten. Pada acara ini, gunungan yang telah didoakan akan dibagikan ke berbagai tempat, seperti Pura Pakulaman, Kepatihan, dan Masjid Gedhe.
Akhirnya, terdapat prosesi “Bedhol Songsong”, yang dilakukan di Bangsal Pagelaran Keraton Jogja. Prosesi ini berisi pertunjukan wayang selama semalam suntuk. Setelah itu, payung agung yang dipasang selama Sekaten akan dicopot dan dibawa kembali ke dalam keraton.
Tradisi Grebeg Mulud dan Numpak Wajik
Dua tradisi yang sangat populer dalam Sekaten adalah “Grebeg Mulud” dan “Numpak Wajik”. Grebeg Mulud adalah acara puncak dari rangkaian Sekaten, yang dilaksanakan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Acara ini dimulai pada pukul 08.00 WIB dan dikawal oleh 10 macam bregada (kompi) prajurit Kraton. Prajurit-prajurit ini terdiri dari Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrirejo, Surakarsa, dan Bugis. Mereka membawa sebuah gunungan yang berisi beras ketan, makanan, buah-buahan, serta sayuran yang dibawa dari Istana Kemandungan ke Masjid Agung untuk didoakan.
Setelah didoakan, bagian gunungan yang dianggap sacral akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau ladang agar sawah mereka dapat tumbuh subur dan terbebas dari bencana. Acara ini tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga menjadi simbol dari kebersamaan dan saling berbagi antara rakyat dan keraton.
Sementara itu, “Numpak Wajik” adalah tradisi yang dilaksanakan dua hari sebelum Grebeg Mulud. Acara ini berlangsung di halaman Istana Magangan pada pukul 16.00. Upacara ini berisikan kotekan atau permainan lagu menggunakan kentongan, lumping (alat untuk menumpuk padi), dan sejenisnya. Numpak Wajik menjadi bagian penting dari persiapan acara puncak, karena merupakan bentuk penyucian dan doa bagi masyarakat.
Pengaruh Sekaten terhadap Budaya Jawa
Sekaten tidak hanya menjadi acara religius, tetapi juga memiliki dampak besar terhadap budaya Jawa. Tradisi ini menjadi sarana untuk memperkuat identitas budaya dan keagamaan masyarakat Jawa. Dengan adanya Sekaten, masyarakat Jawa dapat merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan cara yang unik dan khas, yaitu melalui musik gamelan, ritual sakral, dan kebersamaan.
Selain itu, Sekaten juga menjadi wadah untuk melestarikan seni dan budaya Jawa, terutama dalam hal musik gamelan. Musik ini tidak hanya dimainkan sebagai hiburan, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi spiritual dan keagamaan. Dengan demikian, Sekaten menjadi salah satu bentuk pelestarian seni yang sangat penting dalam konteks budaya Jawa.
Selain itu, Sekaten juga memberikan dampak sosial dan ekonomi. Selama acara berlangsung, pasar rakyat biasanya dibuka di Alun-alun Utara Yogyakarta, yang menawarkan berbagai dagangan unik sandang dan pangan. Wisatawan dan masyarakat lokal dapat menikmati berbagai aktivitas, seperti naik komedi putar, bianglala, dan atraksi tong setan. Hal ini menunjukkan bahwa Sekaten tidak hanya menjadi acara religius, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang signifikan.
Kesimpulan
Sekaten adalah tradisi budaya yang sangat khas dari Jawa, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari segi sejarah, Sekaten memiliki akar yang kuat, terutama dalam konteks penyebaran agama Islam dan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari segi makna, Sekaten memiliki makna filosofis dan spiritual yang mendalam, yang mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kesucian, dan keharmonisan dalam kehidupan.
Dari segi prosesi, Sekaten terdiri dari berbagai tahapan yang penuh makna, seperti penabuhan gamelan, pengarungan gunungan, dan berbagai ritual sakral. Dua tradisi yang sangat populer dalam Sekaten adalah Grebeg Mulud dan Numpak Wajik, yang menjadi bagian penting dari rangkaian acara.
Secara keseluruhan, Sekaten tidak hanya menjadi acara religius, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan, keharmonisan, dan keberagaman budaya Jawa. Dengan demikian, Sekaten layak disebut sebagai salah satu tradisi budaya yang paling berharga dan penting dalam sejarah Jawa.





Komentar