Lifestyle Opini
Beranda » Berita » Ketika Gunung Jadi Panggung: Gaya Hidup atau Sekedar Ikut-ikutan?

Ketika Gunung Jadi Panggung: Gaya Hidup atau Sekedar Ikut-ikutan?

Hobi atau haus akan validasi? (foto instagram: @pendakiindonesia)

Mendaki atau Menyesal? Fenomena Gunung dan Gaya Hidup Anak Muda

Deretan, Semarang, 22 April 2025 – Aktivitas mendaki gunung kini telah menjadi tren yang cukup digemari oleh banyak anak muda. Bukan sekedar sebagai hobi, aktivitas ini bahkan sudah dianggap sebagai bagian gaya hidup. Setiap akhir pekan, banyak gunung di Indonesia dipadati oleh pendaki pemula, sebagian berasal dari kalangan remaja dan mahasiswa. Berdasarkan hasil survei, mayoritas berusia 19-24 tahun (81%) dan didominasi oleh Laki-laki (71,4%). Survei ini menggambarkan bagaimana pendakian gunung telah menjadi gaya hidup yang populer, sekaligus menyoroti potensi risiko dan pengaruh media sosial dibaliknya.

Tren mendaki muncul sebagai pelarian serta pengekspresian diri atas segala macam beban yang dialami oleh individu. Terkadang, hobi baru ini turut dikaitkan dengan pencarian pengalaman autentik di alam bebas. Semangat ini tentunya patut diapresiasi, tetapi tetap harus diimbangi dengan kesadaran akan batas kemampuan diri dan potensi risiko. Jika tidak, kemungkinan besar tren ini akan menjadi bumerang bagi keselamatan para pendaki itu sendiri.

Daya Gedor Media Sosial: Puncak Jadi Panggung

Media sosial menjadi salah satu pemicu utama tren ini. Foto-foto indah di puncak gunung dengan latar matahari terbit atau lautan awan seakan menjadi tiket untuk mendapatkan pengakuan dan pujian. Akun-akun Instagram dan Tiktok penuh dengan unggahan bertema pendakian yang mengundang minat orang lain untuk mencoba hal serupa. Namun, tidak dikit pula dari mereka yang mendaki tanpa persiapan yang matang. Beberapa dari mereka mengungkapkan bahwa unggahan yang hanya menampilkan sisi menyenangkan dari pendakian bisa menyesatkan. Sebanyak 47,6% responden mengaku pernah mendengar kisah nyata orang yang mengalami kecelakaan akibat pendakiaan tanpa persiapan. Hanya 9,5% responden yang benar-benar melakukan persiapan lengkap sebelum mendaki. Sisanya hanya ikut-ikutan atau bahkan tidak tahu apa yang harus dipersiapkan.

Tebar Qurban ke 8 Provinsi: Laznas PYI Distribusikan 425 Hewan Hingga ke Pelosok

Apresiasi berlebih dari media sosial, sering kali menimbulkan efek yang sangat buruk bagi pembuat konten. Terkadang, banyak dari teman-teman yang terus menerus merasa terpacu ketika mengalami pujian di media sosial. Hal ini sering kali mendorong kita untuk melakukan pencitraan romantis tentang pendakian membuat banyak orang meremehkan medan dan kondisi fisik yang dibutuhkan. Maka tidak heran jika gunung berubah menjadi tempat selfie, bukan lagi ruang kontemplasi atau pelestarian alam.

Antara Alam, FOMO, dan Pencitraan

Pergeseran motivasi alami untuk menimbulkan keinginan mendaki kini menjadi hal yang perlu disadari. Karena mendaki bukan lagi sesuatu yang timbul atas kesadaran sendiri melainkan bentuk implementasi dari keinginan para pengikut di media sosial, kita juga harus melihat batasan yang ada. Pergeseran motivasi ini dapat terlihat dari respon teman-teman, sebanyak 42,9% mengaku pernah mendaki gunung,sementara 57,1% lainnya belum pernah. Alasan utama pendakian bervariasi,namun mayoritas(66,7%) menyebut ingin menikmati keindahan alam. Sebagian lainnya mengaku diajak teman(14,3%),mengikuti tren atau karena Fomo, dan ada pula yang mendaki demi kebutuhan konten media sosial. Menariknya,52,4% responden menyatakan bahwa tren mendaki gunung banyak didorong oleh teman sebaya, sementara 33,3% menunjuk influencer atau selebgram sebagai pemicunya.

Ketakutan akan tertinggal dari arus sosial (Fear of Missing Out) mendorong perilaku impulsif yang seringkali mengesampingkan logika berpikir. Bagi sebagian anak muda, momen di puncak gunung adalah validasi identitas sosial yang harus dimiliki. Padahal, jika dilakukan tanpa niat tulus dan bekal yang cukup, pendakian justru bisa menjadi bentuk pelarian yang membahayakan.

Solusi: Dari Edukasi hingga Etika Mendaki

Sebagai solusi atas fenomena ini ditengah maraknya tren mendaki, mayoritas responden menyarankan adanya edukasi publik mengenai keselamatan, pembatasan usia atau aturan pendakian yang lebih ketat, serta kampanye anti-FOMO di media sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya mengurangi gengsi dan mengutamakan kebutuhan daripada keinginan saat melakukan pendakian. Etika pendakian juga harus mulai dikenalkan sejak dini melalui komunitas, sekolah, hingga kampanye digital. Selain keselamatan, nilai-nilai seperti cinta lingkungan dan solidaritas antarpencinta alam juga perlu ditanamkan. Dengan begitu, gunung tidak hanya menjadi tempat petualangan, tetapi juga ruang pendidikan karakter.

Wamenristek Puji Palmco Scholarship, Dari Sawit Kita Bisa Bangun Pemimpin Masa Depan

Refleksi Akhir: Mendaki yang Bertanggung Jawab

Fenomena ini menunjukan bahwa pendakian gunung bukan sekedar kegiatan fisik, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial anak muda saat ini. Diperlukan kesadaran kolektif agar tren ini tidak hanya menjadi gaya hidup musiman, tetapi juga tetap memperhatikan aspek keselamatan dan tanggung jawab.

Pada akhirnya, gunung bukanlah sekadar latar foto, tetapi sebuah medan tempur yang menuntut persiapan mental dan fisik. Menghormati alam dan keselamatan diri harus menjadi prioritas dalam setiap langkah pendakian. Jika tidak, maka pilihan “mendaki atau menyesal” benar-benar akan menjadi kenyataan bagi kita semua.

Penulis: Matahari Kartika Purusakara & Asih Sunarsih

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement